Kota
Magelang yang terletak pada ketinggian sekitar 500 meter di atas
permukaan laut dengan posisi pada 7 derajat Lintang Selatan dan 110
derajat Bujur Timur, merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang
menempati posisi sangat strategis.
Di samping itu, kota Magelang
juga dikelilingi oleh gunung-gunung dan bukit-bukit, seperti: Gunung
Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Perahu, Gunung Telomoyo, Gunung Merbabu,
Gunung Merapi, Gunung Andong, Perbukitan Menoreh serta terdapat "Bukit
Tidar" yang terletak di jantung kota.
Dengan luas wilayah 18,12
km, terdiri dari 3 kecamatan dan 17 kelurahan, Magelang termasuk kota
kecil di Indonesia dengan jumlah penduduk di bawah 200.000 jiwa, yaitu
124.606 jiwa.
SEJARAH
Hari
jadi kota Magelang ditetapkan berdasarkan Perda Kota Magelang Nomor 6
Tahun 1989, bahwa tanggal 11 April 907 Masehi merupakan hari jadi.
Penetapan ini merupakan tindak lanjut dari seminar dan diskusi yang
dilaksanakan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Magelang bekerjasama
dengan Universitas Tidar Magelang, dengan dibantu pakar sejarah dan
arkeologi Universitas Gajah Mada, Drs. MM. Soekarto Kartoatmodjo, dengan
dilengkapi berbagai penelitian di Museum Nasional maupun Museum Radya
Pustaka-Surakarta.
Kota Magelang mengawali sejarahnya sebagai
desa perdikan Mantyasih, yang saat ini dikenal dengan Kampung Metesehdi
kelurahan Magelang. Mantyasih sendiri memiliki arti beriman dalam cinta
kasih. Di kampung Meteseh saat ini terdapat sebuah lumpang batu yang
diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan.
Untuk
menelusuri kembali sejarah Kota Magelang, sumber prasasti yang
digunakan adalah Prasasti POH, Prasasti Gilikan, dan Prasasti Mantyasih.
Ketiganya merupakan prasasti yang ditulis di atas lempengan tembaga.
Prasasti
POH dan Mantyasih ditulis di zaman Mataram Hindu saat pemerintahan Raja
Rake Watukura Dyah Balitung (898-910 M). Dalam prasasti ini
disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa Glanggang. Mantyasih
inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh, sedangkan Glanggang
berubah menjadi Magelang.
Prasasti Mantyasih berisi antara lain
penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka
829 Caka bulan Caitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran
Umanis, hari Snais Scara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi
tanggal 11 April 907. Dalam prasasti ini disebut pula Desa Mantyasih
yang ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai
Desa Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih.
Juga disebut-sebut Gunung Susundara dan Wukir Sumbing yang kini dikenal
dengan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.
Begitulah Magelang,
yang kemudian berkembang menjadi kota, selanjutnya menjadi Ibukota
Karesidenan Kedu dan juga pernah menjadi Ibukota Kabupaten Magelang.
Setelah
masa
kemerdekaan, kota ini menjadi kotapraja dan kemudian menjadi kotamadya.
Dan di era reformasi, sejalan dengan pemberian otonomi seluas-luasnya
kepada daerah, sebutan kotamadya ditiadakan dan diganti menjadi kota.
Ketika
Inggris menguasai Magelang pada abad ke-18, dijadikanlah kota ini
sebagai pusat pemerintahan setingkat Kabupaten dan diangkatlah Raden
Ngabehi Danukromo sebagai Bupati pertama. Bupati ini pulalah yang
kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan berdirinya Alun-Alun,
bangunan tempat tinggal Bupati, serta sebuah Masjid. dalam perkembangan
selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu pada
tahun 1818.
Setelah pemerintahan Inggris ditaklukkan oleh
Belanda, kedudukan Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah Belanda, kota
ini dijadikan pusat lalu lintas perekonomian. Selain itu karena letaknya
yang s
trategis,
udaranya yang nyaman, serta pemandangannnya yang indah, Magelang
kemudian dijadikan Kota Militer. Pemerintah Belanda terus melengkapi
sarana dan prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di
tengah-tengah kota pada tahun 1918. Perusahaan listrik mulai beroperasi
tahun 1927, dan jalan-jalan arteri diperkeras dan diaspal.